KOMPAS.com - Penggunaan antibiotik kerap dijadikan solusi utama dalam mengatasi infeksi bakteri yang terjadi di bagian tubuh.
Namun, karena ketidaktahuan, sebagian orang ada yang berhenti mengonsumsi antibiotik setelah merasa sembuh, meski dosis belum habis sepenuhnya.
Kebiasaan tersebut dapat berdampak serius bagi kesehatan sehingga berkontribusi pada resistensi antibiotik.
Pasalnya, antibiotik dirancang untuk bekerja secara bertahap, dengan membunuh bakteri penyebab infeksi sekaligus mencegahnya berkembang biak.
Ketika antibiotik tidak habis dikonsumsi, bakteri yang belum sepenuhnya mati memiliki peluang untuk bertahan dan berkembang menjadi lebih kuat. Ini dapat disebut dengan resistensi antibiotik.
Resistensi itu menyebabkan bakteri menjadi kebal terhadap pengobatan sehingga infeksi di masa depan akan sulit untuk ditangani.
Gejala yang hilang setelah beberapa hari mengonsumsi antibiotik, bukan berarti infeksi yang terjadi telah sepenuhnya teratasi.
Antibiotik bekerja di level mikroskopis. Jadi, meskipun gejalanya sudah mereda, masih ada bakteri yang mungkin aktif di tubuh. Maka dari itu, penting untuk menghabiskan dosis yang diresepkan apotek atau dokter.
Resistensi antibiotik sendiri telah menjadi ancaman kesehatan global. Beberapa jenis bakteri, seperti Staphylococcus aureus dan Escherichia coli semakin sulit diobati karena kebiasaan penggunaan antibiotik yang tidak tepat.
Jika resistensi tersebut terus meluas, maka manusia bisa menghadapi era infeksi sederhana pun sulit diobati.
Oleh karena itu, edukasi masyarakat tentang cara penggunaan antibiotik yang benar menjadi krusial. Caranyam, dengan menyarankan masyarakat selalu berkonsultasi dengan dokter atau apoteker sebelum memutuskan berhenti mengonsumsi obat.